Monday, November 17, 2014

Ciri Situasi Diglosia

PENDAHULUAN
 
            Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakainya di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai system social dan sitem komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa (language use) adalah bentuk interaksi social yang terjadi dalam situasi kongkret.
            Di dalam sosiolinguistik terdapat bilingualisme dan diglosia yang akan dibahas dalam makalah ini adalah diglosia. Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat.
            Diglosia dapat juga ditunjukkan dalam konteks komunikasi bagi masyarakat di negara yang memiliki ragam bahasa. Dan selain itu terdapat pula kaitan bilingualisme dengan diglosia yang akan dibahas dalam makalah ini.
A.    Pengertian Diglosia
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dangan tidak resmi atau non-formal. Contohnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahsa lisan. Diglosia adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana tidak resmi di rumah). Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap dari bahas Yunani oleh bahasawan Yunani Loanni Psycharis. Pada tahun 1930, istilah ini digunakan juga oleh ahli bahasa Arab, William Marcais.
Diglosia (diglossia) adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas varian-varian bahasa yang ada. Satu varian diberi status “tinggi” dan dipakai untuk penggunaan resmi atau pengggunaan publik dan mempunyai ciri-ciri yang lebih kompleks dan konservatif, varian lain mempunyai status “rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan saluran komunikasi lisan.( Kridalaksana,2008:50)
Menurut henscyber, diglosia adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat, tetapi masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial. Ada pembagian peranan bahasa dalam masyarakat dwibahasawan terlihat dengan adanya ragam tinggi dan rendah, digunakan dalam ragam sastra dan tidak, dan dipertahankan dengan tetap ada dua ragam dalam masyarakat dan dilestarikan lewat pemerolehan dan belajar bahasa.
Chaer dan Agustina (1995: 148) menerangkan bahwa Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Bila disimak, definisi Ferguson memberikan pengertian:
(1) diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama ( lebih tepat ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
(2) Dialek-dialek utama itu diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.
(3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
 Sudah sangat terkodifikasi
 Gramatikalnya lebih komplek
 Merupakan wahana kesusatraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
 Dipelajari melalui pendidikan formal
 Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
 Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.
B.     Topik-topik Diglosia
Ferguson mengunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing punya peranan tertentu. Ferguson membahas diglosia ini dengan mengemukakan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
a. Fungsi
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson, dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dengan dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat R atau ragam R). Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal adanya bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa tersebut, dialek T-nya bahasa Jawa halus atau kromo Engge) sedangkan ragam R-nya adalah bahasa Jawa kasar. Begitu pun pada bahasa Palembang. Dapat pula ditemukan dua varian dari bahasa Palembang, dialek T-nya bahasa Palembang Halus dan dialek R-nya bahasa Palembang Kasar.
Distribusi fungsional dialek T dan R dari masing-masing bahasa mempunyai arti bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek T yang sesuai untuk digunakan dan dalam situasi lain, hanya dialek R yang digunakan. Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal dan santai. Contohnya pada situasi di perkuliahan universitas menggunakan ragam R, karena terdapat pada situasi resmi atau formal. Sedangkan jika dalam situasi menulis surat pribadi menggunakan ragam T, karena terdapat pada situasi informal dan santai.
Penggunaan dialek T yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejekan, cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R tetapi banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa hanya sastra atau puisi dalam dialek T – lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa. Dalam pendidikan formal dialek T harus digunakan sebagai bahasa pengantar. Namun seringkali sarana kebahasaan dialek T tidak mencukupi. Oleh karena itu dibantu oleh menggunakan dialek R. Di Indonesia juga ada pembedaan ragam T dan ragan R bahasa Indonesia. Ragam T digunakan dalam situasi formal, seperti dalam pendidikan, sedangkan ragam R digunakan dalam situasi nonformal seperti dalam pembicaraan dengan teman karir dan sebagainya.
b. Prestise
Dalam masyarakat diglosis, para penutur menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inperior, malah ada yang menolak keberadaannya. Menurut Ferguson, banyak orang Arab dan haiti terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak perlu dipergunakan meskipun dalam percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek R. Itu anjuran golongan terpelajar Arab dan haiti. Itu tentu saja merupakan kekeliruan sebab dialek T dan dialek R mempunyai fungsi masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Dalam masyarakat Indonesia pun ragam bahasa Indonesia baku dianggap lebih bergengsi daripada bahasa Indonesia non-baku. Dalam masyarakat Melayu/Indonesia, beberapa puluh tahun yang lalu, juga ada pembedaan bahasa Melayu T dan R. Dimana yang pertama menjadi bahasa sekolah dan yang kedua menjadi bahasa pasar.
c. Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh, terdapat kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum. Namun, kesusastraan itu tetap berakar, baik di negara-negara berbahasa Arab, bahasa Yunani di Yunani, bahasa Perancis di Haiti, dan bahasa Jerman di Swiss yang berbahasa Jerman.
d. Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali. Begitu juga mereka yang keluar dari pendidikan Formal kelas-kelas awal. Mereka yang mempelajari ragam T hampir tidak pernah menguasainya dengan lancar, selancar penguasaannya terhadap ragam R. Di Indonesia pun banyak orang merasa sukar untuk mengunakan bahasa Indonesia ragam baku, baik lisan maupun tulis. Betapa banyak kritik dilontarkan orang mengenai kesalahan untuk berbahasa Indonesia “yang baik dan benar”. Ini menunjukkan bahwa menggunakan bahasa ragam T memang tidak semudah menggunakan ragam R. Untuk menguasai ragam T, kita harus belajar secara formal, tetapi untuk menguasai ragam R, kemungkinan tidak perlu.
e. Standardisasi
Menanggapi ragam T yang dipandang sebagai ragam bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Sebaliknya ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada kajian yang menyingung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalaupun ada, biasanya dilakukan oleh peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan ditulis dalam bahasa lain. Sebagai ragam yang dipilih, yang distandardisasikan, maka ragam T jelas akan menjadi ragam yang lebih bergengsi dan dihormati.
f. Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan R. Peminjaman unsur leksikal ragam T kedalam ragam R bersifat biasa, tetapi penggunaan unsur leksikal ragam R dalam ragam T kurang begitu biasa, sebab baru digunakan kalau sangat terpaksa.
g. Gramatika
Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk dan bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Umpamanya, dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasus nomina dan dua tenses indikatif sederhana, sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tiga kasus nomina, dan dua tenses sederhana. Nomina bahasa Prancis menunjukan agreement dalam jumlah dan jenis (gender) , sedangkan nomina Kreol Haiti tidak memiliki hal itu. Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artifisial.
h. Leksikon
Sebagian besar kosa kata pada ragam T dan R adalah sama. Namun, ada kosa kata pada ragam T yang tidak ada pasanganya pada ragam R atau sebaliknya, ada kosa kata pada ragam R yang tidak ada pasanganya pada ragam T. Ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosa kata yang berpasangan, satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R, yang biasanya untuk konsep-konsep yang sangat umum. Umpamanya dalam bahasa Indonesia kita dapat mendaftarkan sejumlah kosa kata yang berpasangan sebagai baku dan tidak baku. Antara lain, uang dan duit, buruk dan jelek.
i. Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh. Ferguson sistem bunyi ragam R dan T sebenarnya merupakan sistem tunggal, namun fonologi, T merupakan sistem dasar sedangkan fonologi R yang beragam-ragam, merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi T lebih dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan. Fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.
Ferguson mengatakan bahwa suatu masyarakat diaglosis bisa bertahan/stabil waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan–tekanan” yang dapat melunturkannya. Tekanan-tekanan itu antara lain, (1) meningkatnya kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada suatu Negara. (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis. (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Konsep Ferguson mengenai diglosia, bahwa didalam masyarakat diglosia ada perbedaan ragam bahasa T dan R dengan fungsinya masing-masing dimodifikasi dan diperluas oleh Fishman (1972:92). Menurut Fishman diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan ragam R pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun , atau pada dua bahasa yang berlainan. Jadi, yang menjadi tekanan bagi Fishman adalah adanya perbedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan.
Kalau Feguson melihat diglosia hanya sebagai adanya perbedaan fungsi ragam T dan R dalam sebuah bahasa, maka fishman melihat diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan stilistik dari sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua bahasa yang berbeda. Jadi, didalamnya termasuk perbedaan yang terdapat antara dialek , register, atau variasi bahasa fungsional (Fishman ,1972)
C.    Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia
Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:
a.Bilingualisme dan diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.
b.Bilingualisme tanpa diglosia
Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.
c.Diglosia tanpa bilingualisme
Di dalam masyarakat yang diglosia tapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok ruling group yang hanya bicara dalam bahasa T. Sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara dalam bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama.
d.Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain
KESIMPULAN
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dangan tidak resmi atau non-formal. Contohnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahsa lisan. Diglosia adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana tidak resmi di rumah).
            Ferguson mengunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing punya peranan tertentu. Ferguson membahas diglosia ini dengan mengemukakan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
Hubungan bilingualisme dengan diglosia ada 4 yaitu: bilingualisme dan diglosia, bilingualisme tanpa diglosia, diglosia tanpa bilingualisme, dan tidak bilingualisme dan tidak diglosia.

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1990. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda
www. Google. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia. Com
www. Google. Diglosia dan Bahasa Baku. com

0 comments:

Post a Comment