Monday, November 17, 2014

Deiksis


Deiksis merupakan salah satu kajian dalam pragmatik. Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani yaitu deikitos yang berarti “Hal penunjukan secara langsung”.  Deiksis merupakan penunjukan kata-kata yang merujuk pada sesuatu, yakni kata-kata tersebut dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan. Sebuah kata pada deiksis dapat berubah berdasarkan situasi pembicaraan. Deiksis dibedakan atas lima macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial (Nababan, 1987:40—45).

Deiksis persona merupakan deiksis yang menunjukkan diri penutur. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila ia tidak berbicara lagi dan kemudian menjadi pendengar, maka ia berganti memakai topeng yang disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan (tetapi menjadi bahan pembicaraan) diberi topeng yang disebut persona ketiga (Djajasudarma, 2009:52).
Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu (Nababan, 1987:41). Menurut Nadar (2009:55), deiksis tempat berhubungan dengan pemahaman lokasi atau tempat yang dipergunakan peserta pertuturan dalam situasi pertuturan. Dalam berbahasa, orang akan membedakan antara di sini, di situ, dan di sana. Hal ini dikarenakan di sini lokasinya dekat dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si pembicara, dan tidak pula dekat dari pendengar.
Deiksis waktu ialah pengungkapan (= pemberian bentuk) kepada titik atau jarak waktu dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (=peristiwa berbahasa), yaitu sekarang; bandingkan pada waktu itu, kemarin, bulan ini, dan sebagainya. Hal senada dikemukakan Nadar (2009:55), deiksis waktu berhubungan dengan pemahaman titik ataupun rentang waktu saat tuturan dibuat. Lebih lanjut Purwo (1984:71), mengemukakan bahwa kata deiksis waktu seperti siang, pagi, sore, dan malam tidak bersifat deiksis, karena perbedaan masing-masing kata itu ditentukan berdasarkan patokan posisi bumi terhadap matahari. Kata waktu bersifat deiksis, apabila yang menjadi patokan adalah si pembicara. Kata sekarang bertitik labuh pada saat si pembicara mengucapkan kata itu (dalam kalimat), atau yang disebut saat tutur.


Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau sedang dikembangkan. Gejala ini dalam tata bahasa disebut anafora (merujuk kepada yang sudah disebut) dan katafora (merujuk kepada yang akan disebut). Bentuk-bentuk yang dipakai mengungkapkan deiksis wacana itu ialah kata/frasa; ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dan sebagainya.


e.      Deiksis sosial mengikuti pemilihan kata ganti persona yang dipergunakan dalam situasi pembicaraan (sopan santun berbahasa). Pemakaian deiksis sosial dalam situasi pembicaran atau penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa sering juga disebut dengan istilah undha usuk. Menurut Nababan (1987:43), sistem penggunaan bahasa yang mendasari berbahasa seperti ini disebut sopan santun berbahasa atau honorifics. Setiap bahasa memiliki  kompleksitas sistem sopan-santun berbahasa. Namun, setiap bahasa tersebut  hakikatnya memiliki kesamaan dalam mengungkapkan kata ganti orang, sistem sapaan, dan penggunaan gelar, seperti; engkau, kamu, tuan, saudara, bapak, ibu, nyonya, Drs, Prof, dan sebagainya. Gejala kebahasaan yang didasarkan pada sikap sosial atau kemasyarakatan atau sopan terhadap orang disebut eufemisme (pemakaian kata halus). Inilah yang membuat orang memakai kata wafat atau meninggal untuk menggantikan kata mati. Wanita tunasusila atau WTS untuk menggantikan kata pelacur, dan WC untuk menggantikan kata jamban, serta tunanetra untuk menggantikan kata buta..

0 comments:

Post a Comment