Deiksis merupakan salah satu kajian
dalam pragmatik. Kata
deiksis berasal dari bahasa Yunani yaitu deikitos
yang berarti “Hal penunjukan secara langsung”. Deiksis merupakan
penunjukan kata-kata yang merujuk pada sesuatu, yakni kata-kata tersebut dapat ditafsirkan menurut makna yang
diacu penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan. Sebuah kata pada deiksis dapat berubah berdasarkan
situasi pembicaraan. Deiksis dibedakan atas lima macam,
yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis
sosial (Nababan, 1987:40—45).
Deiksis persona merupakan deiksis yang menunjukkan
diri penutur. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut
persona pertama. Apabila ia tidak berbicara lagi dan kemudian menjadi pendengar, maka ia berganti memakai topeng yang disebut persona
kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan (tetapi
menjadi bahan pembicaraan) diberi topeng yang disebut persona ketiga
(Djajasudarma, 2009:52).
Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang
atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa
itu (Nababan, 1987:41).
Menurut Nadar (2009:55), deiksis tempat berhubungan dengan pemahaman lokasi
atau tempat yang dipergunakan peserta pertuturan dalam situasi pertuturan.
Dalam berbahasa, orang akan membedakan antara di sini, di situ, dan di sana.
Hal ini dikarenakan di sini lokasinya
dekat dengan si pembicara, di situ
lokasinya tidak dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si
pembicara, dan tidak pula dekat dari pendengar.
Deiksis waktu ialah pengungkapan (= pemberian bentuk) kepada titik atau jarak waktu dipandang
dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (=peristiwa
berbahasa), yaitu sekarang;
bandingkan pada waktu itu, kemarin, bulan ini, dan sebagainya. Hal
senada dikemukakan Nadar (2009:55), deiksis waktu berhubungan dengan pemahaman
titik ataupun rentang waktu saat tuturan dibuat. Lebih lanjut Purwo (1984:71), mengemukakan bahwa kata deiksis waktu
seperti siang, pagi, sore, dan malam tidak bersifat
deiksis, karena perbedaan masing-masing kata itu ditentukan berdasarkan patokan
posisi bumi terhadap matahari. Kata waktu bersifat deiksis, apabila yang
menjadi patokan adalah si pembicara. Kata sekarang
bertitik labuh pada saat si pembicara mengucapkan kata itu (dalam kalimat),
atau yang disebut saat tutur.
Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang
telah diberikan dan/atau sedang dikembangkan. Gejala
ini dalam tata bahasa disebut anafora (merujuk kepada yang sudah
disebut) dan katafora (merujuk kepada yang akan disebut). Bentuk-bentuk yang
dipakai mengungkapkan deiksis wacana itu ialah kata/frasa; ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah,
dan sebagainya.
e. Deiksis sosial mengikuti
pemilihan kata ganti persona yang dipergunakan dalam situasi pembicaraan (sopan
santun berbahasa). Pemakaian deiksis sosial dalam situasi pembicaran atau
penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa sering juga disebut dengan
istilah undha usuk. Menurut Nababan
(1987:43), sistem penggunaan bahasa yang mendasari berbahasa seperti ini
disebut sopan santun berbahasa atau honorifics.
Setiap bahasa memiliki kompleksitas
sistem sopan-santun berbahasa. Namun, setiap bahasa tersebut hakikatnya memiliki kesamaan dalam
mengungkapkan kata ganti orang, sistem sapaan, dan penggunaan gelar, seperti; engkau, kamu, tuan, saudara, bapak, ibu,
nyonya, Drs, Prof, dan sebagainya. Gejala kebahasaan yang didasarkan pada
sikap sosial atau
kemasyarakatan atau sopan terhadap orang disebut eufemisme (pemakaian kata
halus). Inilah yang membuat orang memakai kata wafat atau meninggal untuk
menggantikan kata mati. Wanita tunasusila atau WTS untuk menggantikan kata pelacur, dan WC untuk menggantikan kata jamban,
serta tunanetra untuk menggantikan
kata buta..
0 comments:
Post a Comment