MAKALAH
BAHASA SEBAGAI FAKTA SOSIAL
MAKALAH
Oleh :
M. Ainul
Fikri
21402071036
UNIVERSITAS
ISLAM MALANG
MAGISTER
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
TAHUN
2014
A. PENGANTAR
Bahasa
adalah susunan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang digunakan
sebagai alat komunikasi. Para ahli bahasa telah banyak melakukan kaajian bahasa
dari berbagai sudut pandang. dari sudut pandang bahasa sebagai bunyi, misalnya,
dapat dikaji bagaimana bunyi dihasilkan, bagaimana bunyi bunyi bahasa
membedakan makna sehingga muncul cabang ilmu bahasa (linguistik) yang disebut
fonetik dan fonologi. Dalam taraf selanjutnya bahasa juga dapat dikaji dari
sudut pandang pembentukan kata, dan bagaimana kata kata disusun menjadi kalimat
yang bermakna, sehingga muncul cabang ilmu bahasa lainnya yang disebut
Morfologi, Sintaksis, dan Semantik. Apapun sudut pandang kajian bahasa, pada
akhirnya harus disadari bahwa bahasa adalah alat komunikasi individu individu
dalam kelompok sosial/masyarakat. Dengan kata lain bahasa adalah fakta sosial.
Kajian yang sangat terkenal mengenai bahasa sebagai fakta sosial adalah kajian
yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure yang dikenal sebagai bapak
linguistik moderen
Pendekatan
modern terhadap kajian bahasa dilakukan sejak terbitnya buku Course de
Linguistique Generale (1916) karya sarjana Swiss, Ferdinan de Saussure.
Beliau dianggap sebagai pelopor linguistik modern dan linguis pertama yang
mampu menjawab pertanyaan ontologis yang berhubungan dengan linguistik.
Linguistik tidak perlu mengambil paradigma dari cabang ilmu lain sebagaimana
yang telah dilakukan pada kajian-kajian linguistik sebalumnya. Pemikiran de
Saussure inilah yang menjadi landasan pijak pengembangan linguistik
selanjutnya, baik tradisional maupun struktural.
Asumsi
Saussure yang terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa bahasa
merupakan realitas sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian pertama
yang dilakukan Saussure adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini dilakukan
karena Saussure menganggap bahwa bahasa sebagai satu struktur sehingga
pendekatannya sering disebut Structural Linguistics. Kedua, Saussure
mengembangkan pikirannya ke dalam enam dikotomi tentang bahasa, yaitu (a)
dikotomi sinkronik dan diakronik, (b) dikotomi bentuk (form) dan substansi, (c)
dikotomi Signifian dan signifie, (d) dikotomi langue dan Parole, (e) dikotomi
individu dan sosial, dan (f) hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
B. SINKRONIK
DAN DIAKRONIK
1. Sinkronik
Kata
sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan, dan khronos yang
berarti waktu, masa. Dengan demikian, linguistik sinkronis mempelajari bahasa
sezaman. Fakta dan data bahasa adalah rekaman yang diujarkan oleh pembicara,
atau bersifat horisontal. Linguistik sinkronis adalah mempelajari bahasa pada
suatu kurun waktu tertentu, misalnya mempelajari bahasa Indonesia di masa
reformasi saja.
Sinkronis
dapat dipahami seperti dalam bahasa Perancis, tekanan selalu terletak di suku
kata terakhir, kecuali kalau suku kata terakhir mengandung e pepet (seperti
“ə”). Ini adalah fakta sinkronis, yakni suatu hubungan antara himpunan kata
bahasa Perancis dan tekanan, tetapi fakta ini juga berasal dari keadaan masa
lalu (diakronis).
Saussure mengemukakan bahwa kajian bahasa secara sinkronis amat perlu, meskipun beliau banyak berkecimpung dalam kajian diakronis. Bahkan baginya, kajian sinkronis bahasa mengandung kesistematisan tinggi, sedangkan kajian diakronis tidak. Bahkan bagi penggunanya, sejarah bahasa tidak memberikan apa-apa kepada pengguna bahasa mengenai cara penggunaan bahasa. Ada yang perlu bagi pengguna bahasa, yaitu état de langue atau suatu keadaan bahasa. Suatu keadaan bahasa terbebas dari dimensi waktu dalam bahasa yang justru memiliki watak kesistematisan.
Saussure mengemukakan bahwa kajian bahasa secara sinkronis amat perlu, meskipun beliau banyak berkecimpung dalam kajian diakronis. Bahkan baginya, kajian sinkronis bahasa mengandung kesistematisan tinggi, sedangkan kajian diakronis tidak. Bahkan bagi penggunanya, sejarah bahasa tidak memberikan apa-apa kepada pengguna bahasa mengenai cara penggunaan bahasa. Ada yang perlu bagi pengguna bahasa, yaitu état de langue atau suatu keadaan bahasa. Suatu keadaan bahasa terbebas dari dimensi waktu dalam bahasa yang justru memiliki watak kesistematisan.
Kajian
sinkronis justru lebih serius dan sulit. Sistem keadaan bahasa ‘sinkronik’
seperti sistem permainan catur. Setiap buah catur (setara dengan suatu unit
bahasa) memiliki tempat tersendiri dan memiliki keterkaitan tertentu dengan
buah lain, dan kekuatan serta pola gerak/jalan tersendiri. État de langue
adalah jaringan keterkaitan yang menentukan nilai suatu elemen benar-benar
tergantung, langsung atau tak langsung pada nilai elemen-elemen yang lain.
2. Diakronik
Kata
diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui, dan khronas
yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, yang dimaksud dengan linguistik
diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu
bahasa dari masa ke masa. Studi diakronis bersifat vertikal, misalnya
menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia yang dimulai sejak adanya prasasti di
Kedukan Bukit sampai kini.
Linguistik
diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi. Ada berbagai contoh untuk
melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis), misalnya, kata Latin
“cripus” (berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar Perancis
crép-, yang membentuk kata kerja crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas
lepa’. Pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang
karena usia’, untuk membentuk décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal
kata ini.
Contoh yang lain terdapat dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa Jerman tinggi kuno, kata jamak gast, ‘tuan rumah’, semula adalah gasti, dan jamak hant ‘tangan’ semula adalah hanti, dll. Akan tetapi, di kemudian hari, i- tersebut menjadi umlaut yang mengakibatkan a menjadi e dalam suku kata terdahulu: gasti menjadi gesti, hanti menjadi henti, tetapi kemudian (lagi) i- kehilangan bunyinya dan menghasilkan gesti menjadi geste, dst. Akibatnya, sekarang terdapat kata Gäst: Gaste, Händ: Hande, dan sejumlah besar kelompok kata yang menampilkan bentuk jamak dan tunggal. Hal ini adalah dimensi linguistik diakronis. Diakronis tidak mengubah sistem karena kata yang berubah pun adalah sistem dalam bentuk yang lain dengan sistem sebelumnya. Perubahan kata terjadi di luar kemampuan siapa pun.
Contoh yang lain terdapat dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa Jerman tinggi kuno, kata jamak gast, ‘tuan rumah’, semula adalah gasti, dan jamak hant ‘tangan’ semula adalah hanti, dll. Akan tetapi, di kemudian hari, i- tersebut menjadi umlaut yang mengakibatkan a menjadi e dalam suku kata terdahulu: gasti menjadi gesti, hanti menjadi henti, tetapi kemudian (lagi) i- kehilangan bunyinya dan menghasilkan gesti menjadi geste, dst. Akibatnya, sekarang terdapat kata Gäst: Gaste, Händ: Hande, dan sejumlah besar kelompok kata yang menampilkan bentuk jamak dan tunggal. Hal ini adalah dimensi linguistik diakronis. Diakronis tidak mengubah sistem karena kata yang berubah pun adalah sistem dalam bentuk yang lain dengan sistem sebelumnya. Perubahan kata terjadi di luar kemampuan siapa pun.
Ada
kasus khusus dalam linguistik sinkronis dan diakronis, contoh: pouter dalam
bahasa Yunani berarti kuda betina, sekarang pengertiannya berubah menjadi
“tiang penunjang” (jadi maknanya berubah). Kata tersebut tetap, tetapi
pengertian masyarakat akan kata itu yang berubah. Jadi fakta historis atau
diakronis mengikuti fakta sinkronis. Oleh karena itulah, sinkronis menganggap
gast beroposisi dengan gäste, gebe beroposisi dengan gib, dst, sedangkan
diakronis menganggap gast berubah menjadi gaste. Diakronis hanya hadir dalam
parole karena segala perubahan pertama kali dilontarkan individu sebelum masuk
dalam kelaziman. Misalnya, bahasa Jerman memiliki: ich war, wir waren,
sedangkan bahasa Jerman kuno sampai abad XVI menafsirkannya: ich was, wir waren
dan dalam bahasa Inggris: I was, we were. Nah, bagaimana terjadinya substitusi
dari war ke was? Saussure mengatakan, pasti ada beberapa orang yang terpengaruh
oleh waren, kemudian menciptakan war dengan jalan analogi. Ini adalah fakta dalam parole. Karena kata
tersebut sering diulang dan diterima oleh masyarakat, maka kata tersebut
menjadi fakta dalam langue.
Jika
seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat bukan lagi
langue, melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan parole. Linguistik
diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan
dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikan
yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka. Sebaliknya, linguistik
sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis dan psikologis yang
menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk sistem, seperti
dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama.
Gagasan
saussure dapat dipakai acuan baru dalam studi bahasa, bahwa kajian linguistik
hendaknya dilakukan secara diakronik dan sinkronik, karena untuk dapat
memotret pada suatu waktu tertentu
diperlukan pemahaman tentang bahasa itu untuk satu rentangan waktu. Sebagai
pemakai, bahasa dapat ditelaah dari “keberadaan” dari bahasa itu sendiri tanpa
terikat oleh rentangan waktu yang berbeda. Kajian diakronik dianggap terlalu
sederhana karena hanya mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah,
sedangkan kajian sinkronik dipandang lebih rumit karena harus mendeskripkan
bahasa itu sendiri.
Dikotomi antara bentuk dan substansi
Saussure
menekankan bahwa kajian linguistik harus ditinjau dari segi bentuk dan
substansi bagi saussure substansi penting, namun bentuk lebih penting. Oleh
karena itu, dalam kajian bahasa nilai suatu unsur (langsung atau tidak
langsung) sangat bergantung pada unsur lain.
C. LANGUE
DAN PAROLE
Gagasan Saussure tentang fakta
sosial, langue, dan parole, menjadi pilar-pilar konsepnya mengenai struktur
gagasan yang amat kontroversial. Para bahasawan tertarik berkomentar.
Pendekatan Saussure kembali mengemuka ketika dihadapkan pada pandangan Noam
Chomsky. Pandangan Chomsky (1964) yang amat berpengaruh adalah yang membedakan
kompetence dari performance. Pembedaan tersebut tampak ada kemiripan dengan
pembedaan langue dan parole oleh Saussure. Bahkan, Chomsky sendiri menyamakan
konsep linguistic competence yang diperkenalkannya dengan konsep langue. Namun,
sesungguhnya kedua konsep tersebut berbeda.
Konsep langue dan parole menyisakan
masalah besar dalam sintaksis. Meskipun tidak disebut dalam bukunya, unit-unit
(abstrak) yang bermakna sepeti morfem dapat dimasukkan ke dalam langue, masuk
dalam sistem, disediakan untuk dipakai dengan jumlah terbatas. Morfem
disediakan dalam langue dan dapat digunakan untuk membedakan suatu morfem
dengan morfem yang lain. Sintaksis juga unit abstrak bermakna. Kita perlu
membedakan dan memilih sintaksis satu dari sintaksis yang lain ketika hendak
berkomunikasi. Bedanya dari morfem adalah bahwa jumlah struktur kalimat –
sintaksis – tidak terbatas dan bisa terus bertambah. Jika demikian, sintaksis
tidak masuk dalam langue, melainkan dalam parole.
1. Langue
Langue mengacu pada sistem bahasa
yang abstrak. Sistem ini mendasari semua ujaran dari setiap individu. Langue
bukanlah suatu ujaran yang terdengar, tulisan yang terbaca, melainkan suatu
sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata. Langue adalah
totalitas dari sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari ingatan pemakai
bahasa dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak setiap individu.
Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama oleh semua warga masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole, seperti yang kita ketahui bahwa parole adalah wicara aktual, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue.
Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama oleh semua warga masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole, seperti yang kita ketahui bahwa parole adalah wicara aktual, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue.
Dalam langue terdapat batas-batas
negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan
sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya apabila seseorang
mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode,
suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi
yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penurut terdahulu. Langue telah dan
dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda
bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa tersebut dapat menjadi lambang
tulisan yang konvensional.
Langue tidak bisa dipisahkan antara
bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret;
tulisan-tulisan yang terindera dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue
adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh: Pergi! Dalam kata
ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi! dapat juga
kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol
atau dengan tanda-tanda militer.
Langue seperti permainan catur, apabila buah caturnya dikurangi akan berubah dan bahkan permainan akan kacau, demikian halnya dalam langue. Jika struktur (sistem) kita ubah, maka akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini diubah menjadi: nasi makan saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal. Atau dalam bahasa Latin: laudate (terpujilah), tentu jika kita mengubahnya tidak sesuai dengan aturan main dalam bahasa Latin, akan kacau balau. Langue tidak tergantung pada aksara. Misalnya, kata: tōten, fuolen dan stōzen; kata-kata ini di kemudian hari berubah menjadi tölen, füolen dan stōzen. Perubahan itu dari mana? Nah, langue tidak mau tahu dengan perubahan itu, yang penting apa yang telah dipakai secara konvensional, ya itulah langue.
Langue perlu agar parole dapat saling
dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk. Dengan kata lain, secara
historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah
parole, tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan
maknanya pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang
tersimpan di dalam setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya
identik (fotocopy), yang akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah
sesuatu yang ada pada setiap individu.
Langue
bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1
+ 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama
oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu.
Menurut Alwasilah (1983), langue adalah tata bahasa + kosakata + sistem
pengucapan. Langue bersifat stabil dan sistematis.
Terbentuknya langue juga dipengaruhi
oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa Penjajah mempengaruhi
bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan
pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata
“pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita
tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui
oleh semua masyarakat bahasa.
Walaupun kita tidak tahu dari mana
asalnya, toh tidak menghambat kita untuk mempelajarinya. Harus diingat bahwa
langue berubah, tetapi para penutur tidak mungkin mengubahnya; atau langue
tertutup bagi interferensi, tetapi terbuka bagi perkembangan. Tanda-tanda yang
membentuk langue bukan benda abstraksi, melainkan benda konkret. Contoh: pohon
(yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah
bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya
ada karena ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah
konsep adalah kualitas dari substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan
kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah, putih, melihat, merupakan bagian dari
psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa jika diasosiasikan dengan
gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk bunyi).
2. Parole
2. Parole
Parole adalah bahasa tuturan, bahasa
sehari-hari. Intinya, parole adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang,
termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur dan
pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi
ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole adalah perwujudan langue pada
individu. Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Bahasa parole
misalnya, gue kan ga suka cara kayak gitu, loo emangnya siape?, dst. Jadi,
parole adalah dialek. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan
hasil individu yang sadar, termasuk kata apapun yang diucapkan oleh penutur; ia
juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan
unsur-unsur berikut.
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku, perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku, perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).
Kedua, mekanisme psikis-fisik yang
memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Parolelah
yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap pada saat kita
mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara
langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole.
Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan
merupakan perilaku pribadi. Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ +
1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun akan dilafalkan secara berbeda, baik
orang yang sama maupun oleh banyak orang.
D.
SIGNIFIANT DAN SIGNIFIE
1.
Signifiant
Bahasa adalah sistem lambang dan
lambang itu sendiri adalah kombinasi antara bentuk (signifiant) dan arti
(signifie). Signifiant merupakan bentuk bahasa yang terkandung dalam sekumpulan
fonem. Signifiant juga sebagai perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud dasar
sistem fonologi suatu bahasa. Jadi, signifiant (penanda) merupakan citra bunyi
atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.
2. Signifie
Signifie merupakan kandungan mental
atau citra mental suatu bahasa. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna
suatu bahasa. Signifie (petanda) merupakan pengertian atau kesan makna yang ada
dalam pikiran kita. Setiap tanda tidak dapat dipisahkan dari tanda yang lain
karena baik lafal maupun maknanya dipahami atas perbedaanya dari yang lain.
Dari segi mental, bahasa merupakan
suatu totalitas pikiran dalam jiwa manusia. Dari segi fisik, bahasa adalah
getaran udara yang lewat suatu tabung dalam alat bicara manusia. Jadi, bahasa
merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat
manusia melalui alat-alat bicaranya. Misalnya gambar kuda dilambangkan dengan
kuda (ind), jeren (mdr), jeran (bawean), dan jaran (jawa).
Apabila ada berujar kuda dan kita
mendengar rentetan bunyi /k, u, d, a/ itulah yang disebut signifiant, sedangkan
bayangan kita terhadap seekor kuda disebut signifienya, yaitu seekor binatang
berkaki empat, memiliki bulu di leher, dengan tenaga yang begitu kuat.
E. SINTAKMATIK DAN PARADIGMATIK
1. Sintakmatik
Hubungan sintakmatik adalah hubungan
yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu tindak bicara.
Unit-unit kebahasaan dapat digabungkan menjadi bangun yang lebih panjang.
Misalnya, apabila kita berkata rumah bagus itu akan dijual, maka kita melihat
bentuk rumah yang dihubungkan dengan bentuk lain yang berbentuk suatu keutuhan.
2.
Paradigmatik
Hubungan paradigmatik adalah hubungan
derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari
unit bahasa. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antarelemen yang dapat saling
menggantikan dalam slot yang sama dalam struktur kebahasaan, seperti yang
tampak di bawah ini.
mesin
bermesin
mesinnya
permesinan
bermesin
mesinnya
permesinan
Kata mesin dengan bentuk di bawahnya memiliki hubungan
paradigmatik.
KEPUSTAKAAN
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1985. Aliran-aliran Linguistik. Surabaya: Usaha Nasional.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum, Historis Komparatif dan tipologi Struktura. Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik, Sebuah Pengantar.
Bandung: Angkasa.
Wahab, Abdul. 1990. Butir-butir linguistik. Surabaya: Alirlangga Universitas Press.
Wahab, Abdul. 1995. Isu Linguistik, Pengajaran bahasa Indonesia dan Sastra. Surabaya: Airlangga Universyty press.
0 comments:
Post a Comment