AL-MUSAWA
Al-Musawa Merupakan Salah Satu
Prinsip Penting dalam Islam yang Juga Menjadi Elemen Penting Demokrasi
Al-Musawa adalah
kesetaraan, kesejajaran. Artinya, tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari
yang lain, sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa
memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif.
Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan, demi menghindari hegemoni
penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah
adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat
melalui pemilihan yang jujur dan adil, untuk melaksanakan dan menegakkan
peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu, pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat, demikian juga kepada Tuhan.
Dengan begitu, pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat
dipercaya, jujur dan adil.
Sebagian ulama memahami al-musawa ini
sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-adalah.
Di antara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat
al-Hujurat:13 yang artinya sebagai berikut :
“Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seeorang laki-laki
dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu di
sisi Allah ialah orang-orang yang bertakwa diantara
kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Konsep ini
secara sosiologis membongkar pandangan feodalisme, baik feodalisme religius,
feodalisme kapitalis atau feodalisme aristokratis. Berapa macam pengkotakan
sosial yang seharusnya tumbang menghadapi konsep ini. Karena sejak awal
munculnya di jazirah arabiyah, Islam
sudah mempelopori konsep al-Musawa ini saat di belahan bumi lain masih
terjadi diskriminasi suku, golongan, kekayaan, kedudukan dan bahkan warna
kulit.
Konsep ini dalam Islam tidak
terbatas dalam tataran teori saja, namun juga sebuah kewajiban untuk
diaplikasikan dalam tindakan nyata dalam beribadah dan bermasyarakat, berbeda
dengan keadaan yang terjadi di sebagian agama dan negara. Berikut ini adalah
beberapa ajaran dan hukum Islam yang sarat dengan muatan konsep ini;
Pertama, Takalif Syar’iyah (perintah-perintah syariat) seperti shalat,
puasa, zakat, haji dan lain-lain adalah sebuah kewajiban untuk seluruh umat
Islam tanpa terkecuali.
Kedua, Ibadah shalat berjamaah adalah merupakan salah satu cermin dari
konsep al-Musawa ini; berbaris bershaf bersama, kearah yang sama, tidak ada perbedaan
antara besar dan kecil, kaya dan miskin, berkulit putih atau hitam. Begitu juga
ibadah haji; semuanya berpakaian sama, dengan warna yang sama, aturan dan cara
pakai yang sama pula.
Ketiga, dalam pemberlakuan hudud (hukuman) dalam Hukum Islam tidak ada
perbedaan dan pengecualian; siapa saja yang telah melanggar aturan syariat dan
diputus bersalah oleh hakim, maka harus segera dilaksanakan hukumannya. Sebagaimana perilaku
Nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam kitab Hadits Shahih Imam Ibn Hibban, Hadits
no. 4319[1]:
عن
عائشةَ أنَّ قريشاً أَهَمَّتْهُمْ شَأْنُ المرأةِ المَخْزُومِيَّةِ التي سَرَقَتْ،
فقالوا: مَنْ يُكَلِّمُ فيها رَسُولَ اللَّهِ ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجترىءُ عليهِ
إِلا أُسَامَةُ بنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ . فَكلَّمَهُ أُسَامَةُ، فقالَ رَسُولُ
اللَّهِ : «أَتشفَعُ في حَدَ مِنْ حُدودِ اللَّهِ؟» ثُمَّ قامَ فاخْتَطَبَ، فقالَ:
«إِنَّما هَلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهم كانُوا إِذا سَرَقَ فيهم الشَّرِيفُ
تَرَكُوهُ، وإذا سَرَقَ فِيهمُ الضَّعِيفُ، أَقامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ، وأيْمُ
اللَّهِ لَوْ أنَّ فاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقتْ لَقَطعْتُ يَدَهَا».
Dari
Aisyah ra.: bahwasanya bangsawan Quraisy mau memberi ampunan kepada salah
seorang perempuan dari bangsawan Quraisy bani Mahzum yang kedapatan mencuri,
lantas mereka berkata: Siapa yang bisa dijadikan perantara untuk menghadap Nabi
saw?, maka sebagian dari mereka menjawab: Siapa lagi yang mampu untuk itu
selain orang yang paling Nabi saw cintai yaitu Usamah bin Zaid. Kemudian Usamah
menghadap Nabi saw, lalu Nabi saw bersabda: Apakah anda akan meminta ampunan
berkenaan degan salah satu dari had Allah?”, kemudian Nabi saw berdiri dan
berpidato: Sesungguhnya kehancuran umat-umat terdahulu adalah disebabkan (oleh
ketidakadilan); jika salah seorang dari bangsawan mereka mencuri, maka mereka
memberi ampunan, namun jika yang mencuri itu orang biasa (bukan bangsawan),
maka mereka menegakan had. Dan demi Allah! Jika Fatimah binti Muhammad saw itu
mencuri, maka aku akan tetap memotong tangannya”
M. Tholhah Hasan[2]
menyimpulkan ada kurang-lebih empat macam konsep persamaan dalam Islam, yaitu:
1)
Persamaan
dalam hukum; dalam Islam semua orang diperlakukan sama dalam hukum. Nabi SAW.
dengan tegas menyatakan : Seandainya Fatimah anakku mencuri, pasti akan
kupotong tangannya.
2)
Persamaan
dalam proses peradilan; Ali bin Abi Thalib pernah menegur Khalifah Umar, karena Khalifah waktu mengadili
sengketa antara Ali dengan seorang Yahudi membedakan cara memanggilnya (kepada
Ali dengan nama, gelarnya, yaitu; Abu Hasan[3]
sedangkan kepada Yahudi dengan nama pribadinya).
3)
Persamaan
dalam pemberian status sosial; Nabi pernah menolak permohonan Abbas dan Abu
Dzar dalam suatu jabatan, dan memberikannya kepada orang lain yang bukan dari
golongan bangsawan.
4)
Persamaan
dalam ketentuan pembayaran hak harta; Islam mempersamakan cara dan jumlah
ketentuan zakat, diat, denda bagi semua orang yang kena wajib bayar, tanpa
membedakan status sosialnya dan warna kulitnya.
sementara
dalil sunnah-nya cukup banyak, antara lain tercakup dalam khotbah wada’ dan
sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Persamaan hak di muka adalah salah
satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau
muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi
juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan
ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan
hukum sesuai hukum Islam.
Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ…
… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.... (QS. Al-Nisa: 58)
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah)
Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ…
… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.... (QS. Al-Nisa: 58)
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah)
[1] CD
Kutub al-Hadits al-Aries.
[2]Tholchah , Islam, 144.
[3]Abd Rahman bin Ibrahim al-Fauzan, 194.
0 comments:
Post a Comment